Ada masa di mana aku berlari terlalu jauh dari diriku sendiri. Masa ketika aku percaya bahwa hidup adalah perlombaan, dan aku harus menjadi yang tercepat, yang paling sibuk, yang paling produktif. Aku pikir, jika aku terus bergerak tanpa henti, aku akan menemukan kebahagiaan di ujung perjalanan. Tapi semakin lama aku berlari, semakin jauh pula aku tersesat—bukan menuju kebahagiaan, melainkan menuju kehilangan yang tak pernah kusadari sedang mengintai dari belakang.
Waktu itu aku masih berada dalam usia yang dipenuhi ambisi. Hidup seolah harus dikejar cepat-cepat. Aku bangun pagi sebelum matahari menyingsing, berangkat dengan langkah terburu-buru, kembali ke rumah larut malam, dan menjadikan lelah sebagai bagian yang wajar dari hidup. Aku terbiasa makan dengan tergesa, berbicara dengan singkat, bahkan bernafas pun seolah tidak pernah tuntas.
“Aku harus berhasil,” itu yang selalu kuucapkan pada diri sendiri.
Namun perlahan aku mulai menyadari bahwa dalam upaya keras untuk menjadi “seseorang,” aku justru kehilangan mereka yang menjadi alasan mengapa aku ingin berhasil sejak awal. Aku tidak sadar bahwa orang-orang yang kucintai sedang menua, kesempatan sedang berlalu, dan kenangan yang seharusnya tercipta justru lenyap begitu saja.
Aku ingat satu momen yang terus menghantuiku hingga hari ini. Sore itu hujan turun pelan—hujan yang biasanya membuatku ingin pulang lebih cepat. Tapi hari itu berbeda. Ada rapat tambahan di kantor, dan sebagai seseorang yang masih merasa harus membuktikan diri, aku memilih bertahan. Pikirku, “Ibu pasti mengerti.” Tapi apakah benar begitu?
Ketika aku sampai di rumah, jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Rumah sudah gelap. Hanya lampu kecil ruang tamu yang menyala, remang-remang. Di sofa tua itu, Ibu tertidur dengan posisi badan miring, tangan menggenggam remote televisi yang sudah tidak menyala. Di meja, ada sepiring makanan yang kini dingin, ditemani secangkir teh yang permukaannya sudah tak lagi beruap.
Aku berdiri lama di ambang pintu, seolah tubuhku membeku. Ada sesuatu yang terasa sesak di dadaku, seperti ada ruang yang tiba-tiba ditarik keluar paksa dari dalam tubuhku.
Aku mendekat perlahan dan melepas remote dari tangannya. Ibu tampak begitu lelah. Rambutnya mulai banyak uban, wajahnya mulai berkerut, tapi dalam diamnya, ia tetap memberikan yang sama: menungguku pulang.
Di detik itu, aku merasa seluruh ambisi yang kusimpan selama bertahun-tahun hancur berantakan. Untuk apa semua kesibukan itu kalau aku harus merelakan momen sederhana seperti ini? Untuk apa aku mengejar pengakuan orang lain sementara aku tak bisa menjaga mereka yang berada paling dekat denganku?
Ibu membuka mata perlahan, mungkin karena mendengar derit lantai. Ia tersenyum kecil, meski matanya masih berat.
“Kamu sudah pulang…” katanya dengan suara serak.
Aku hanya mengangguk. Ada begitu banyak kata yang ingin kuucapkan—maaf, terima kasih, jangan tunggu aku terlalu lama, aku hanya ingin kau istirahat—tapi tidak satu pun keluar dari mulutku. Semuanya tertahan oleh rasa bersalah yang menggunung.
“Aku tunggu kamu tadi. Takut kamu pulang belum makan,” lanjutnya.
Hari itu, aku memakan makanan yang sudah dingin. Tapi rasanya tidak hambar—rasanya justru menamparku keras. Setiap suapan seperti mengingatkanku tentang waktu yang hilang, tentang kesempatan yang kulewatkan, tentang sore-sore yang seharusnya bisa kuhabiskan bersama Ibu.
Sejak kejadian itu, pikiranku terus dipenuhi pertanyaan: kapan terakhir kali aku benar-benar hadir dalam hidupku sendiri?
Aku mencoba mengingat. Kapan aku menikmati senja tanpa memikirkan deadline? Kapan aku tertawa bersama teman lama tanpa melihat jam? Kapan aku duduk di samping Ibu hanya untuk bertanya hal sederhana, seperti “hari ini Ibu bahagia atau tidak?”
Ternyata sudah lama sekali.
Aku terlalu sibuk mencatat target, hingga lupa mencatat kenangan. Terlalu sibuk mengunci kalender penuh jadwal pekerjaan, hingga lupa menyisakan ruang untuk hidup. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali memotret momen, bukan pekerjaan.
Waktu yang hilang tidak pernah memberitahu kapan ia pergi. Ia hanya meninggalkan jejak berupa penyesalan, dan kita baru menyadarinya setelah semua berlalu.
Suatu malam, aku mencoba membuka album foto lama. Di sana ada foto masa kecilku, saat aku duduk di halaman rumah sambil makan es krim yang dibelikan Ayah. Waktu itu hidup terasa lambat. Aku bisa menghabiskan sore hanya dengan melihat awan. Aku bisa tertawa hanya karena hal-hal kecil: suara jangkrik, hujan pertama, atau sepeda baru yang rodanya masih licin.
Aku merindukan perasaan itu—perasaan menjadi hadir sepenuhnya dalam satu momen kecil.
Kapan tepatnya aku berhenti menikmatinya?
Aku terus membuka halaman demi halaman. Ada foto ketika aku lulus sekolah, foto ketika kami sekeluarga makan malam di restoran kecil dekat rumah, foto ketika aku bermain gitar di teras. Hal-hal sederhana yang kini terasa begitu jauh.
Di salah satu foto, aku melihat diriku berdiri di samping Ayah, dengan senyum lebar yang jarang lagi kutemui di wajahku sekarang. Waktu itu, hidup terasa lengkap meski belum sempurna. Kini, hidupku terasa sempurna dari luar, tapi kosong di dalam.
Ironi yang tidak pernah kukira akan kutemui.
Perlahan aku mulai menyadari bahwa waktu bukan hanya sesuatu yang kita ukur dengan angka. Waktu adalah perasaan. Waktu adalah kesempatan. Waktu adalah cara kita hadir untuk diri sendiri dan orang lain. Waktu adalah sesuatu yang tak terlihat, tapi terasa begitu nyata ketika ia hilang.
Aku mulai belajar dari hal-hal kecil.
Suatu pagi, aku memutuskan bangun lebih awal—bukan untuk bekerja, tapi untuk duduk di samping Ibu saat ia membuat teh. Kami berbicara tentang hal-hal sepele: bunga di halaman, cuaca hari itu, atau rencana belanja bulanan. Tapi percakapan sederhana itu membuat hatiku hangat.
Aku mulai menata ulang hidupku. Jika dulu waktuku habis untuk mengejar agenda yang tidak pernah selesai, kini aku menyisakan ruang untuk berhenti sejenak. Untuk melihat sekitar, untuk mendengar suara-suara kecil yang dulu kupinggirkan. Untuk merasakan detik yang berjalan, bukan sekadar membiarkannya lewat.
Namun hidup tidak selalu memberi kesempatan kedua tanpa syarat. Ada beberapa waktu yang terlanjur pergi dan tidak akan pernah bisa kutarik kembali.
Salah satunya adalah dengan seorang sahabat lama.
Dia adalah teman yang selalu ada sejak sekolah. Orang pertama yang kutuju saat sedih, orang pertama yang kumintai saran. Kami tumbuh bersama, lalu sibuk bersama—sama-sama mengejar mimpi, tapi berbeda arah. Kami pernah berjanji untuk tetap dekat, untuk saling mengabari, untuk sesekali bertemu makan bakso di warung langganan.
Tapi janji itu akhirnya terkubur di antara tumpukan prioritas baru.
Satu hari, aku menerima kabar bahwa ia akan pindah ke luar kota karena pekerjaan. Aku berniat mengunjunginya, tapi seperti biasa, aku menunda.
“Nanti saja,” pikirku.
Tapi “nanti” itu tidak pernah datang.
Ia berangkat lebih cepat dari rencana, dan aku hanya bisa mengirim pesan singkat yang terdengar kaku, jauh dari hangatnya kedekatan yang dulu kami punya.
Aku duduk lama, menatap layar ponsel. Kesadaran itu menyentakku: hubungan pun bisa hilang jika tidak diberi waktu. Kedekatan tidak tumbuh dari janji, tapi dari kehadiran. Dan aku tidak hadir.
Waktu merenggut sesuatu lagi dariku.
Pelan-pelan, aku mulai belajar bahwa hidup tidak sekadar tentang pencapaian luar biasa atau keberhasilan besar. Hidup adalah tentang bagaimana kita menjaga waktu yang kita punya sebelum ia berubah menjadi kenangan pahit yang sulit diobati.
Aku mulai melakukan hal-hal yang selama ini kutunda:
Menelpon teman lama.
Menemani Ibu menonton film favoritnya.
Mengunjungi makam seseorang yang sudah lama ingin kusebutkan maaf.
Mengajak keponakan bermain tanpa melihat notifikasi ponsel.
Menulis kembali mimpi yang dulu membuatku bahagia, bukan stres.
Hal-hal itu sederhana, tetapi memberikan ruang baru dalam hidupku. Ruang yang dulu diisi oleh kesibukan tanpa arah.
Pada suatu sore yang hening, aku duduk di depan rumah dan melihat matahari terbenam. Warnanya jingga keemasan, begitu lembut dan hangat. Dulu, senja bagiku hanyalah tanda bahwa hari hampir berakhir. Kini, senja adalah pengingat bahwa hidup selalu memberi kesempatan untuk memulai kembali—setiap hari, setiap detik.
Aku menutup mataku, merasakan angin lewat pelan di wajahku. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa benar-benar hadir. Tidak ada pekerjaan yang membayang, tidak ada target yang menghantui. Hanya ada aku, waktu, dan rasa syukur yang perlahan tumbuh.
Aku tahu aku tidak bisa mengembalikan waktu yang hilang. Tidak bisa mengulang malam ketika Ibu menungguku pulang. Tidak bisa memutar ulang masa ketika aku dan sahabatku masih dekat. Tidak bisa menghapus tahun-tahun ketika aku hidup terlalu cepat sampai lupa menikmati perjalanan.
Tapi aku bisa belajar dari semuanya. Aku bisa menjadikan kehilangan itu sebagai pengingat. Aku bisa memilih untuk hidup dengan lebih sadar, lebih pelan, lebih hangat.
Aku kini mengerti, penyesalan bukanlah musuh. Ia adalah guru. Dan waktu yang hilang bukanlah akhir. Ia adalah pintu menuju kesadaran baru—kesadaran untuk menghargai apa yang tersisa.
Hidup bukan perlombaan. Hidup adalah perjalanan panjang yang harus kita rasakan, bukan hanya kita lewati. Kita tidak perlu menjadi yang tercepat, karena pada akhirnya yang kita cari bukan garis finish, melainkan momen-momen yang membuat hidup layak dijalani.
Kita tidak pernah tahu kapan sesuatu akan berubah. Kita tidak pernah tahu kapan orang yang kita sayangi tidak lagi ada untuk kita pulang. Kita tidak pernah tahu kapan satu kesempatan kecil akan menjadi kenangan terbesar dalam hidup.
Karena itu, jangan biarkan waktu terus berjalan tanpa kita sadari. Hiduplah dengan lebih pelan, lebih penuh, lebih jujur. Hadirlah untuk orang-orang yang mencintaimu. Hadirlah untuk dirimu sendiri.
Waktu tidak menunggu siapa pun. Tapi kita bisa memilih untuk tidak terus ketinggalan.
Karena pada akhirnya, waktu yang benar-benar hilang bukanlah waktu yang telah lewat—melainkan waktu yang tidak pernah kita rasakan sepenuhnya. — Rezqi Abdina
0 comments:
Posting Komentar