• Youtube
  • Instagram

Rabu, 29 Oktober 2025

PELUKAN TERAKHIR

 


Ada hal-hal yang tidak pernah benar-benar kita pikirkan saat masih memilikinya. Sesuatu yang tampak sederhana, biasa, lumrah—hingga pada akhirnya waktu mengambilnya jauh lebih cepat daripada yang sempat kita duga. Itulah yang kurasakan tentang sebuah pelukan terakhir. Sebuah momen yang dulu hanya kuanggap sebagai bagian dari rutinitas kecil, kini justru menjadi kenangan paling dalam yang terus hidup di hatiku.


Sejak kecil, aku selalu merasa bahwa orang-orang yang kucintai akan selalu tinggal di dekatku. Bahwa kehadiran mereka adalah sesuatu yang pasti. Setiap pagi aku bangun dan melihat wajah mereka, dan setiap malam aku pulang dan mendengar suara mereka. Rasanya dunia begitu stabil, begitu aman, begitu... utuh.

Tapi aku lupa bahwa hidup tidak pernah diam. Ada yang datang, ada yang pergi, ada yang berubah tanpa memberi aba-aba. Dan salah satu hal yang paling sulit diterima adalah ketika seseorang yang selalu ada di hidupmu—tiba-tiba tidak ada lagi. Bukan karena ia ingin pergi, tapi karena hidup memintanya kembali.


Aku masih bisa mengingat hari itu dengan sangat jelas meski waktu sudah berjalan cukup jauh. Hari yang sederhana sebenarnya, tidak ada tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Aku bangun sedikit terlambat, tergesa-gesa bersiap, dan hampir melewatkan sarapan seperti biasanya.

Ia—orang yang sangat kusayangi itu—sedang duduk di ruang tengah sambil menonton acara pagi. Tatapannya hangat seperti biasa, namun aku tidak terlalu memperhatikannya. Aku hanya berkata cepat, “Aku berangkat ya,” seperti yang sudah kulakukan ratusan kali sebelumnya.

Ia menoleh, tersenyum, dan berdiri untuk mendekatiku.

“Eh, sini dulu,” katanya sambil membuka tangannya.

Aku sebenarnya sedang terburu-buru, tapi aku tidak ingin terlihat tidak sopan. Jadi aku mendekat, dan ia memelukku sebentar. Pelukan yang hangat, ringan, dan terasa akrab.

“Jaga diri, jangan pulang terlalu malam,” ucapnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum sekilas, lalu melangkah pergi.

Aku tidak tahu bahwa itu adalah pelukan terakhir yang akan pernah aku rasakan darinya.


Beberapa minggu setelah hari itu, hidupku berubah dalam sekejap. Sebuah kabar datang—singkat, tajam, menghantam seperti gelombang besar yang menghancurkan pantai tanpa memberi waktu untuk berlari. Orang itu... telah pergi.

Aku hanya duduk memegangi ponselku, menatap layar yang terus bergetar dengan pesan-pesan masuk. Dunia seolah mengecil, suaranya hilang, warnanya pudar. Aku bahkan tidak menangis pada awalnya—bukan karena tidak sedih, tetapi karena otakku belum mampu menerima kenyataan itu sepenuhnya.

Sore itu aku kembali ke rumah, tapi rasanya rumah itu bukan lagi rumah yang sama. Sudut-sudut ruangan tampak lebih sunyi, lebih dingin, lebih kosong. Ada kursi kosong yang dulu selalu ia tempati. Ada cangkir favoritnya yang masih bersih di lemari. Ada sandal yang masih rapi di dekat pintu. Semua seperti menunggu kehadirannya kembali, tapi aku tahu... itu tidak akan pernah terjadi.

Dan akhirnya, setelah semuanya tenggelam dalam kesadaran yang pahit, aku menangis. Aku menangis begitu dalam hingga rasanya dadaku diremas dari dalam. Aku menangis karena kehilangan, tetapi juga karena penyesalan—penyesalan yang tak sempat kuucapkan.


Beberapa hari setelah kepergiannya, aku duduk sendirian di kamar. Lampu dimatikan, tirai tertutup, membuat ruangan terasa seperti dunia kecil yang tertutup dari waktu. Di sudut ruangan, ada sebuah kotak kecil berisi barang-barang yang berkaitan dengannya. Foto, gelang, sehelai sapu tangan, dan beberapa catatan kecil yang pernah ia beri.

Saat aku membuka salah satu catatan itu, tertulis:
“Kalau kau lelah, pulanglah. Aku selalu ada di sini.”

Kalimat itu menghantamku seperti kenyataan yang tak mampu kutolak. Ia selalu ada untukku. Selalu menunggu, selalu mendengarkan, selalu merangkulku ketika aku runtuh. Tapi betapa seringnya aku menganggap kehadirannya sebagai hal yang biasa—tanpa benar-benar memahami betapa berharganya itu.

Aku menangis lagi. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena aku mulai menyadari sesuatu: aku tidak pernah benar-benar membalas semua kasih sayangnya. Aku tidak pernah memeluknya sehangat ia memelukku. Aku tidak pernah meluangkan waktu untuk benar-benar mengatakan betapa berharganya ia bagiku. Aku hanya terus berlari mengejar hari-hari, seolah waktu akan selalu menunggu.

Dan kini, satu-satunya hal yang tersisa hanyalah pelukan terakhir itu. Sebuah momen yang dulu terasa biasa saja, tapi kini menjadi kenangan paling mahal dalam hidupku.


Beberapa minggu kemudian, aku mencoba kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Pergi bekerja, menyapa teman-teman, menjalani hari dengan senyum tipis yang sedikit demi sedikit kupaksakan. Tapi setiap kali aku berjalan melewati jalan yang dulu sering kulalui bersamanya, hatiku terasa disayat perlahan.

Yang paling sulit bukanlah ketidakhadirannya di hari kematiannya. Yang paling sulit adalah ketidakhadirannya pada hari-hari setelahnya—hari-hari kecil yang dulu biasa saja, kini berubah menjadi pengingat tentang kehilangan.

Di ruang tengah, aku sering merasa seolah ia masih duduk di sana. Di dapur, aku masih bisa membayangkan aroma masakan kesukaannya. Di kamar, aku masih melihat bayangan senyumnya dalam pikiranku. Aku tahu itu hanyalah kenangan, tapi kenangan itu sangat hidup, seolah ia masih dekat, hanya saja tidak bisa kusentuh.

Dan pada malam-malam tertentu, rasa bersalah kembali datang menghampiri.

Rasa bersalah karena tidak memeluknya lebih lama di pelukan terakhir itu.
Rasa bersalah karena terlalu sibuk dengan dunia sendiri.
Rasa bersalah karena terlalu sering menunda untuk mengatakan “aku sayang.”
Rasa bersalah karena tidak pernah benar-benar menyadari bahwa waktu bersamanya begitu terbatas.


Hingga suatu sore, aku duduk di dekat jendela dengan secangkir teh hangat di tangan. Langit tampak muram, seolah turut berduka bersama hatiku. Aku teringat ucapan seseorang yang pernah berkata:

“Yang pergi memang tidak bisa kembali, tapi ia tidak pernah benar-benar hilang. Ia tinggal di dalam kenanganmu. Ia hidup selama kamu mengingatnya.”

Aku memejamkan mata dan membiarkan ucapan itu memenuhi pikiranku. Mungkin benar—mungkin seseorang yang kita cintai tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berubah bentuk. Dari sosok yang bisa dipeluk menjadi kenangan yang bisa dikenang. Dari suara yang bisa didengar menjadi bisikan lembut di hati. Dari kehadiran fisik menjadi pelajaran tentang cinta.

Dan aku mulai belajar menerima bahwa meski aku tidak bisa memeluknya lagi, pelukan terakhir itu tetap ada. Tetap hangat, tetap hidup, tetap menjadi bagian yang tidak akan pernah hilang dari diriku.


Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menghargai setiap pelukan yang kudapatkan dari orang lain. Aku mulai memeluk orangtuaku lebih sering, memeluk sahabatku dengan lebih tulus, bahkan memeluk diriku sendiri pada malam-malam sulit. Karena aku tahu, setiap pelukan bisa menjadi pelukan terakhir bagi seseorang—dan itu sebabnya setiap pelukan harus diberikan dengan hati yang penuh.

Aku tidak ingin lagi menghabiskan hidup dengan menunda untuk menunjukkan kasih sayang. Aku tidak ingin lagi kehilangan kesempatan untuk memberi pelukan yang hangat. Aku tidak ingin lagi menyesal.

Aku belajar bahwa cinta tidak hanya ditunjukkan melalui kata-kata indah atau ucapan manis. Kadang cinta hadir dalam bentuk yang sederhana—sebuah pelukan yang hangat dan penuh ketulusan. Pelukan yang mengatakan tanpa kata, “Aku ada untukmu,” “Aku menyayangimu,” “Kamu berharga dalam hidupku.”

Satu pelukan kecil bisa memberi kekuatan besar. Dan satu pelukan terakhir bisa mengubah seluruh cara kita memandang hidup.


Hingga sekarang, bertahun-tahun setelah kepergiannya, aku masih mengingat pelukan terakhir itu. Tidak lagi dengan tangis yang pecah seperti dulu, tetapi dengan rasa syukur. Karena setidaknya, aku pernah merasakan pelukan itu. Setidaknya aku pernah punya momen itu untuk kusimpan selamanya.

Kadang aku masih membayangkan bagaimana rasanya jika aku memeluknya sedikit lebih lama—mungkin beberapa detik lagi. Tapi kemudian aku tersenyum pelan. Aku tahu ia tidak ingin aku terjebak dalam penyesalan. Ia selalu ingin aku hidup dengan tenang, melangkah ke depan dengan hati yang penuh, bukan dengan hati yang kosong.

Jadi kini, setiap kali aku merindukan kehadirannya, aku menutup mata dan membayangkan pelukan terakhir itu. Dan dalam hati kecilku, aku berkata:

“Aku tidak akan lupa. Aku tidak akan menunda lagi. Aku akan mencintai orang-orang yang masih ada selagi waktu masih memberi kesempatan.”


Pelukan terakhir mengajarkanku banyak hal—tentang cinta, tentang kehilangan, tentang waktu yang tidak pernah kembali, dan tentang pentingnya menghargai setiap momen kecil dalam hidup kita.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa lama kita memiliki seseorang, tetapi tentang seberapa tulus kita menghargai kehadirannya saat ia masih ada.

Dan pelukan terakhir itu… adalah pengingat abadi bahwa cinta tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah tempat—dari tangan kita ke dalam hati kita.

Jangan menunggu kehilangan untuk belajar menghargai kehadiran. Berikan pelukanmu hari ini, selagi dunia masih memberi waktuRezqi Abdina

0 comments:

Posting Komentar

Kontak

Hubungi saya kalau kalian penasaran


Alamat Rumah

JL. Kuin Selatan Gg. Al-Hidayah No.102 RT.01 RW.01 Cerucuk, Banjarmasin Barat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Nomer Handpohone

+(62)821-5365-6192

Website Jualan

Abdina Store