Sejak kecil, aku memiliki banyak mimpi. Mimpi yang lahir dari kesederhanaan, dari keluguan masa kanak-kanak, hingga perlahan tumbuh bersama usia dan semua beban yang menyertainya. Waktu itu, aku membayangkan hidup yang mudah—hidup yang penuh warna, penuh tawa, penuh kedamaian. Aku ingin menjadi seseorang yang dibanggakan, seseorang yang mampu membahagiakan orang tuanya tanpa harus selalu meminta maaf karena belum bisa memenuhi harapan. Aku ingin tersenyum setiap hari tanpa harus menyembunyikan lelah di baliknya.
Tentu, semua mimpi itu tampak wajar. Tidak ada yang muluk. Tidak ada yang terlalu luhur untuk digapai. Tapi entah sejak kapan, setiap langkah menuju mimpi itu terasa seperti berjalan di atas tanah yang terus bergerak. Semakin aku melangkah, semakin aku kehilangan keseimbanganku.
Waktu kecil aku sering duduk di teras rumah, memandangi langit malam sambil menghitung bintang. Ibu pernah berkata bahwa setiap bintang menandakan satu harapan. Dan semakin berkilau bintang itu, semakin kuat harapan yang kita punya. Waktu itu aku percaya sepenuhnya.
Aku akan menunjuk sebuah bintang terang dan berkata, “Bu, itu mimpiku.”
Ibu hanya tersenyum, mengusap kepalaku, dan menjawab, “Selama kamu masih bisa melihatnya, selama itu masih bersinar, berarti kamu belum benar-benar kehilangan apa pun.”
Tapi seiring bertambahnya usia, aku menyadari satu hal: bintang memang tetap bersinar, tapi manusia sering kehilangan dirinya sendiri sebelum mencapai apa pun.
Ketika aku mulai dewasa, mimpi bukan lagi sekadar keinginan yang murni. Mimpi berubah menjadi sesuatu yang terasa seperti beban. Bukan karena aku tidak menginginkannya, tetapi karena aku takut gagal meraihnya. Ketakutan itu membuatku mempertanyakan banyak hal.
Apakah aku benar-benar pantas bermimpi?
Apakah aku berhak berharap terlalu tinggi?
Apakah aku akan membuat orang tuaku kecewa jika akhirnya semua gagal?
Aku masih ingat satu malam yang begitu sunyi. Sebuah malam yang seolah menggantungkan pertanyaan besar di kepalaku. Saat itu aku memandangi langit-langit kamar, duduk di sudut tempat tidur, dan membiarkan pikiranku berkecamuk sesukanya.
“Apa aku masih boleh bermimpi…?” bisikku sendiri.
Tidak ada jawaban. Hanya dinding kosong yang menatap balik. Saat itu rasanya dunia begitu kecil, tapi tekanan hidup terasa begitu besar.
Malam itu aku menangis. Bukan karena aku lemah, tetapi karena aku merasa terlalu sering berharap pada sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah menjadi kenyataan. Aku lelah melihat mimpi yang dulu begitu indah, kini justru membuatku merasa kecil, bahkan tidak berharga.
Aku pernah berada pada titik di mana aku merasa semua usaha itu sia-sia. Aku belajar keras, bekerja keras, mencoba menjadi baik, mencoba memahami sekitar, tapi tetap saja rasanya seperti berjalan tanpa arah. Orang bilang mimpi bisa menguatkan, tapi kenapa bagiku mimpi justru terasa seperti pedang bermata dua? Menguatkan, tapi juga melukai.
Namun di tengah semua kelelahan itu, aku tidak bisa memungkiri satu hal: tanpa mimpi, mungkin aku tidak akan pernah sampai sejauh ini.
Ada masa ketika aku jatuh, terpukul, ditinggalkan, atau dikecewakan. Ada masa ketika semua yang kulakukan tidak dihargai, ketika setiap langkah terasa salah, ketika aku berjuang sendirian. Tapi di balik itu semua, ada mimpi kecil yang membuatku tetap berdiri.
Mimpi itulah yang memaksaku bangun kembali.
Mimpi itulah yang membuatku menolak menyerah.
Mimpi itulah yang membuatku percaya, bahwa sekalipun hidup tidak mudah, aku tetap punya alasan untuk bertahan.
Aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa mimpi bukan sekadar gambaran masa depan. Mimpi adalah alasan seseorang hidup. Dan semakin dewasa aku, semakin aku mengerti kalimat itu.
Ada satu pengalaman yang sangat membekas. Saat itu aku gagal dalam sesuatu yang begitu kuperjuangkan. Sebuah kesempatan besar yang sudah kupegang, tapi tiba-tiba lepas begitu saja di detik terakhir. Aku merasa seluruh dunia runtuh di hadapanku.
Hari itu aku pulang dengan langkah gontai. Di perjalanan, aku melihat orang-orang berjalan dengan wajah tenang, seolah dunia mereka baik-baik saja. Sementara aku, rasanya seperti berjalan di tengah badai. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar dan menutup pintu.
Aku jatuh terduduk, menundukkan kepala, dan membiarkan air mata mengalir. Aku bertanya, “Tuhan… apakah aku benar-benar tidak pantas?”
Tapi setelah menangis, aku justru merasa lebih ringan. Ada suara kecil di hati yang berkata, “Hanya karena kamu gagal hari ini, bukan berarti kamu tidak akan berhasil esok hari.”
Mungkin itu suara harapan.
Atau mungkin itu suara mimpi yang tidak ingin mati begitu saja.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk berbicara dengan Ayah. Ia adalah tipe orang yang jarang bicara, tapi kata-katanya selalu menancap tepat di hati. Aku mengajukan pertanyaan yang sudah lama kupendam.
“Ayah, bagaimana kalau mimpi yang aku kejar ternyata tidak untukku?”
Ayah terdiam sebentar. Ia menatapku, lalu tersenyum kecil.
“Kalau begitu, berarti kamu akan menemukan mimpi lain,” jawabnya.
Aku mengernyit. “Apa tidak apa-apa mengganti mimpi, Yah?”
Ayah mengangguk pelan. “Mimpi itu seperti jalan. Ada yang lurus, ada yang berbelok, ada yang buntu. Kalau jalanmu buntu, bukan berarti kamu gagal. Itu hanya berarti kamu harus mencari arah baru.”
Kalimat itu sederhana. Tapi justru kesederhanaannya yang membuatku tersadar. Sejak kapan aku meyakini bahwa mimpi harus satu dan harus berhasil? Sejak kapan aku mengikat diriku pada satu tujuan saja, seolah tidak ada kemungkinan lain selain itu?
Ayah melanjutkan, “Tidak semua hal harus kamu raih sekarang. Ada hal yang ditunda, bukan karena kamu tidak pantas, tapi karena waktu yang tepat belum tiba.”
Aku terdiam. Kata-kata itu terasa menenangkan, tapi sekaligus mengajarkanku banyak hal.
Bahwa mimpi bukan tentang cepat atau lambat.
Bukan tentang siapa yang lebih dulu berhasil.
Bukan tentang siapa yang terlihat paling hebat.
Mimpi adalah tentang proses yang membuat kita bertumbuh.
Tentang bagaimana kita belajar menerima luka, mengenali diri, menghadapi kenyataan, dan tetap melangkah meski jalannya penuh kerikil.
Setelah percakapan itu, aku mulai melihat mimpi dengan cara berbeda. Aku tidak lagi menganggapnya sebagai beban. Aku mencoba melihatnya sebagai teman perjalanan—teman yang mengingatkanku untuk terus melangkah, tetapi tidak pernah memaksaku untuk berlari.
Aku mulai menuliskan mimpi-mimpiku di sebuah buku kecil. Tidak lagi mengurungnya dalam tekanan, tapi menuliskannya dengan ringan. Di sana kutulis mimpi besar dan mimpi kecil. Mimpi yang mungkin terwujud dan mimpi yang mungkin tidak. Tapi semuanya kutulis dengan tulus.
Aku juga menuliskan momen-momen ketika aku gagal. Bukan untuk mengingat luka, tetapi untuk mengingat bahwa aku pernah berani mencoba.
Pada satu halaman, aku menulis:
“Mimpi bukan tujuan akhir. Mimpi adalah cahaya kecil yang menjaga langkahku tetap menyala.”
Kalimat itu menjadi pengingat setiap kali aku merasa ragu.
Suatu malam, aku kembali memandangi langit. Lama sekali aku tidak melakukan hal itu. Bintang-bintang bertebaran dengan indahnya. Aku memilih satu bintang yang paling terang, sama seperti masa kecilku dulu. Tapi ada hal berbeda.
Jika dulu aku menunjuk bintang itu dan berkata, “Itu mimpiku,” kini aku berkata dalam hati:
“Itu ingatanku. Itu versi kecilku yang dulu percaya bahwa semuanya mungkin.”
Dan saat itu aku sadar—mimpi bukan sekadar sesuatu yang harus kita kejar. Mimpi juga adalah bagian dari kita. Bagian dari keberanian kita. Bagian dari harapan yang kita simpan, bahkan ketika hidup terasa berat.
Kini aku tidak lagi bermimpi untuk menghindari kenyataan.
Aku bermimpi untuk menghadapi kenyataan.
Aku bermimpi agar aku punya alasan untuk tetap melangkah.
Aku bermimpi agar aku bisa melihat hidup bukan sebagai beban, tapi sebagai perjalanan yang penuh warna.
Aku mengerti bahwa hidup tidak akan selalu berjalan sesuai rencana. Aku mengerti bahwa mungkin ada mimpi yang akan kutinggalkan di tengah jalan. Tapi aku juga mengerti bahwa itu semua tidak membuatku gagal. Itu hanya membuatku lebih manusiawi.
Karena hidup bukan tentang memiliki mimpi yang sama selamanya.
Melainkan tentang berani terus bermimpi meski pernah terluka.
Berani berubah arah ketika perlu.
Dan berani menerima bahwa mimpi tidak harus sempurna untuk berarti.
Hari ini, aku masih memiliki banyak mimpi. Tapi aku tidak lagi memeluknya dengan ketakutan. Aku memeluknya dengan tenang. Aku membiarkan waktu bekerja, membiarkan diri belajar, membiarkan hidup berjalan dengan ritmenya sendiri.
Aku percaya, bahwa Tuhan tidak pernah salah menaruh mimpi di hati seseorang. Jika Dia memberikannya, berarti seseorang itu mampu menjalaninya—meski dengan air mata, meski dengan jatuh bangun, meski dengan perjalanan yang tidak mudah.
Karena pada akhirnya, mimpi bukan tentang seberapa besar yang kita capai.
Tetapi tentang siapa kita setelah melewati perjalanan panjang itu.
Dan aku…
aku hanya ingin menjadi seseorang yang tetap memiliki mimpi, tidak peduli seberapa keras hidup mencoba menjatuhkanku.
Jangan pernah berhenti bermimpi.
Sekalipun dunia membuatmu ragu.
Sekalipun orang-orang meremehkanmu.
Sekalipun jalan terasa panjang dan melelahkan.
Karena mimpi bukan hanya bayangan masa depan.
Mimpi adalah cahaya kecil yang membuat kita tetap hidup,
di tengah gelapnya kenyataan. — Rezqi Abdina
0 comments:
Posting Komentar