• Youtube
  • Instagram

Rabu, 29 Oktober 2025

AKHIR DARI CERITA

 


Setiap cerita pasti memiliki akhir. Tidak peduli seberapa kuat kita ingin mempertahankannya, setiap sesuatu yang pernah dimulai suatu hari nanti akan menyentuh garis penutupnya. Namun, yang sering kali terlupakan adalah bahwa akhir tidak selalu bermakna kegelapan, kehilangan, atau perpisahan selamanya. Ada akhir yang mengantar kita pada harapan baru. Ada akhir yang menjadi jembatan menuju babak berikutnya. Ada akhir yang justru menyelamatkan kita.

Tapi dulu, bagiku kata akhir selalu berarti kehilangannya saja — kehilangan orang, kehilangan tempat, kehilangan kebiasaan, atau kehilangan bagian dari diriku sendiri.

Aku pernah takut pada kata itu. Takut bahwa selesai berarti tidak ada lagi peluang untuk memperbaiki. Takut bahwa selesai berarti gagal. Takut bahwa selesai berarti aku tidak memiliki apa pun lagi untuk diperjuangkan.

Namun tahun-tahun berlalu, dan aku banyak berpisah dengan hal-hal yang dulu kupikir akan selalu bertahan. Dari situlah aku mengerti sesuatu yang tidak pernah kupertimbangkan sebelumnya:

Akhir bukan sekadar berhenti.
Akhir adalah bentuk kehidupan yang lain.


Aku ingat dengan jelas hari ketika masa sekolahku berakhir.

Langit siang itu cerah, terlalu cerah untuk sebuah perpisahan. Semua orang mengenakan seragam terakhir kalinya — ada yang menulis nama teman-teman di bajunya, ada yang mencoret seragam dengan spidol warna-warni, ada yang saling berlarian sambil tertawa seperti hari-hari biasa.

Tapi aku tahu itu bukan hari biasa.

Di tengah keramaian, aku berdiri agak jauh, memperhatikan wajah-wajah yang pernah mengisi hari-hariku. Teman yang selalu datang terlambat, teman yang suka meminjam pulpen tapi tak pernah mengembalikannya, teman yang duduk di pojok kelas karena malas berinteraksi, teman-teman yang menemani makan siang di kantin, dan guru-guru yang dulu terasa membosankan namun kini rasanya terlalu cepat ditinggalkan.

Aku tersenyum, meski ada sesuatu yang berat menempel di dadaku.

Aku tahu setelah hari itu, kami tak lagi berada di ruang yang sama. Setelah hari itu, kami akan menjadi tokoh utama dari cerita masing-masing — tidak lagi saling muncul di bab satu sama lain, setidaknya tidak sesering dulu.

Aku mencoba menahan perasaan itu, tapi siapa yang bisa menahan akhir?

Tidak ada.

Aku bahkan sempat memalingkan wajah ketika seseorang memanggilku untuk berfoto bersama, karena aku tahu jika aku menatap wajah-wajah mereka terlalu lama, aku akan menangis. Aku tidak ingin hari itu berakhir dengan air mata. Tapi justru inilah yang membuatku lebih emosional: aku tahu, tawa-tawa itu tidak akan terdengar sama lagi di masa depan.

Siang itu kami berfoto, tertawa, saling memeluk, dan berjanji akan tetap berkomunikasi.

Namun waktu membuktikan sesuatu yang menyedihkan:
Tidak semua yang berjanji akan bertahan.
Tidak semua yang akrab akan tetap dekat.
Tidak semua yang hadir akan tetap ada.

Tapi di situlah aku belajar pelajaran pertama tentang akhir:

Bahwa perpisahan bukan hanya tentang “siapa yang pergi”, tetapi tentang “siapa yang bertahan di hati meski jarak memisahkan.”


Beberapa tahun setelah perpisahan itu, ketika aku sudah bekerja dan hidup semakin sibuk, suatu malam aku membuka galeri ponsel. Aku tidak tahu kenapa tanganku memilih untuk membuka folder foto lama. Rasanya seperti panggilan kecil dari hati yang ingin mengingat kembali bagian diriku yang telah lama kutinggalkan.

Aku melihat foto-foto lama itu.

Seragam yang penuh coretan.
Wajah-wajah muda yang belum lelah.
Tawa-tawa yang belum terkikis masalah hidup.
Teman-teman yang kini terasa asing.

Ada satu foto yang membuatku terdiam cukup lama — foto bersama empat orang sahabatku, lengkap dengan ekspresi konyol khas anak sekolah yang tak peduli penampilan. Di foto itu kami terlihat begitu bahagia, seolah dunia tidak pernah benar-benar menyulitkan.

Aku tersenyum, namun entah bagaimana, ada rasa hampa yang ikut hadir.

Aku tahu kami semua sudah berubah.
Ada yang menikah.
Ada yang pindah kota.
Ada yang sibuk mengejar karier.
Ada yang tak lagi bisa kuhubungi.

Bukan karena kami bertengkar.
Bukan karena kami saling menjauh dengan sengaja.

Hanya karena hidup membawa kami ke arah masing-masing — seperti daun-daun yang diterbangkan angin ke tempat berbeda-beda.

Melihat foto-foto itu membuatku sadar bahwa waktu tidak pernah benar-benar berhenti, bahkan ketika kita ingin sekali mengulang sesuatu. Dan kehilangan tidak selalu terjadi karena seseorang pergi… terkadang kita kehilangan karena kita tumbuh.

Saat itulah aku menyadari sesuatu yang penting:

Beberapa cerita tidak berakhir karena rusak.
Beberapa cerita berakhir karena memang sudah waktunya.


Tidak semua akhir datang dengan salam perpisahan yang manis. Ada akhir yang datang diam-diam, menghapus sesuatu dari hidup kita tanpa menunggu kesiapan kita.

Ada hubungan yang berakhir tanpa penjelasan.
Ada orang yang pergi tanpa pamit.
Ada mimpi yang tak bisa dipertahankan meski sudah diperjuangkan habis-habisan.

Aku pernah mengalami itu.

Pernah ada seseorang yang begitu dekat denganku. Kami berbicara setiap hari, saling mendukung, saling menguatkan, saling mempersiapkan masa depan seolah kami akan berjalan bersama.

Namun tiba-tiba semua berubah.

Tanpa pertengkaran, tanpa drama, tanpa perpisahan yang jelas. Komunikasi perlahan berkurang, percakapan menjadi dingin, hingga akhirnya terasa seperti berbicara dengan orang asing.

Saat itu aku bertanya-tanya:

“Apa yang salah?”
“Apa aku terlalu menuntut?”
“Apa aku sudah tidak cukup?”

Aku mencoba memperbaiki, mencoba berbicara, mencoba berusaha agar hubungan itu tetap hidup.

Tapi perlahan aku sadar bahwa aku tidak bisa memaksa seseorang untuk tetap tinggal.
Tidak bisa memaksa sesuatu untuk bertahan.
Tidak bisa memaksakan cerita yang memang sudah mencapai bab terakhirnya.

Akhir yang seperti itu menyakitkan.
Sangat menyakitkan.

Tapi itulah kenyataannya:

Tidak semua yang kita jaga akan bertahan.
Tidak semua yang kita perjuangkan akan kembali.
Tidak semua yang kita cintai akan menetap.

Dan itu bukan salah siapa pun.

Itu hanya bagian dari hidup yang sering tak ingin kita pahami.


Dulu aku berpikir bahwa mempertahankan adalah bentuk cinta paling kuat.

Tapi setelah belajar dari berbagai kehilangan, aku menyadari sesuatu:

Kadang melepaskan justru adalah bentuk cinta yang paling dewasa.

Karena mempertahankan sesuatu yang sudah tidak ingin tinggal hanya akan melukai kita, juga melukai mereka.
Karena memaksa cerita tetap hidup padahal tokohnya sudah ingin pergi hanya akan membuat luka semakin dalam.

Melepaskan bukan berarti menyerah.
Melepaskan bukan berarti kalah.
Melepaskan bukan berarti tidak peduli.

Melepaskan adalah bentuk pengakuan yang paling jujur bahwa:

“Cerita ini sudah selesai, meski aku masih ingin bertahan di dalamnya.”

Ketika aku belajar melepaskan, aku mulai memahami nilai lain dari sebuah akhir:

Akhir mengajarkan kita untuk kembali melihat diri sendiri.
Akhir memaksa kita untuk tumbuh.
Akhir membuka ruang untuk hal baru datang.

Dan yang terpenting:
Akhir membuat kita menghargai proses.


Dulu aku selalu fokus pada apa yang hilang ketika cerita berakhir. Namun belakangan aku menyadari bahwa setiap akhir selalu meninggalkan sesuatu — bukan hanya kesedihan, tetapi juga pelajaran.

Ada hubungan yang berakhir, tetapi membuatku belajar menjadi lebih dewasa.
Ada mimpi yang gagal, tetapi membuatku menemukan jalan baru yang lebih cocok.
Ada pertemanan yang menjauh, tetapi membuatku bertemu orang-orang baru yang lebih sejalan.

Akhir bukan hanya menutup pintu.
Akhir juga membuka pintu lain.

Dalam diam, tanpa kita sadari.

Seperti matahari terbenam yang selalu diikuti oleh matahari terbit.
Seperti malam panjang yang selalu berganti pagi.

Akhir bukan titik.
Akhir adalah tanda koma — jeda sebelum kalimat berikutnya dimulai.

Dan ketika aku mulai memahami itu, aku menjalani hidup dengan lebih tenang. Aku tidak lagi memaksakan hal-hal yang ingin pergi. Aku tidak lagi memaksa sesuatu untuk tetap sama selamanya.

Karena aku tahu sekarang:

Setiap bab yang selesai memberi ruang agar bab berikutnya bisa lahir.


Ada kalanya aku masih merasa berat ketika harus melepaskan sesuatu.

Ada kalanya aku masih merindukan masa lalu.
Ada kalanya aku masih ingin kembali ke momen tertentu dan berkata:

“Bisakah kita ulangi? Aku belum siap ini berakhir.”

Namun hidup tidak pernah menawarkan tombol rewind.

Hidup hanya mengajarkan kita untuk bergerak maju — meski langkah itu berat, meski hati itu masih ingin tinggal.

Bahkan ketika tak ada hal buruk yang terjadi pun, cerita tetap bisa berakhir.

Teman baik bisa menjadi asing.
Tempat nyaman bisa menjadi kenangan.
Rasa sayang bisa berubah bentuk.
Dan diri sendiri pun bisa berubah lebih cepat dari yang kupikirkan.

Pada akhirnya, aku belajar bahwa:

Tidak ada yang tinggal selamanya.
Tapi tidak semua yang pergi benar-benar hilang.

Beberapa tetap tinggal dalam ingatan, dalam hati, dalam cara kita memandang dunia.

Cerita mungkin berakhir, tetapi pengaruhnya tidak.


Akhir mengajarkanku banyak hal:

Bahwa tidak semua orang yang hadir akan menemani sampai akhir hidup.
Bahwa tidak semua perjuangan akan menghasilkan kemenangan.
Bahwa tidak semua pertemuan ditakdirkan menjadi selamanya.

Akhir mengajariku kekuatan.
Akhir mengajariku keberanian.
Akhir mengajariku ikhlas.
Akhir mengajariku untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan.

Di titik tertentu, aku menyadari bahwa akhir adalah guru paling sabar dalam hidup ini.

Ia tidak mengajariku dengan kata-kata, tetapi dengan kehilangan.
Ia tidak memberikan penjelasan, tetapi memberikan kesadaran.
Ia tidak membuatku mengerti tiba-tiba, tetapi perlahan—setiap kali aku mengalami sesuatu yang selesai.


Kini aku tidak lagi terlalu takut pada kata akhir.

Aku belajar menyambutnya dengan tenang, bahkan dengan senyum kecil, karena aku tahu setiap akhir adalah tanda bahwa aku telah melalui sesuatu.

Akhir membuktikan bahwa aku pernah berjuang.
Akhir membuktikan bahwa aku pernah memiliki sesuatu yang berarti.
Akhir membuktikan bahwa aku pernah jatuh cinta, pernah percaya, pernah berharap, pernah berusaha.

Akhir membuktikan bahwa aku pernah hidup.

Dan yang paling indah dari semua ini adalah pemahaman bahwa:

Yang menentukan siapa kita bukanlah bagaimana cerita itu berakhir, tetapi bagaimana kita menjalani setiap halaman sebelum sampai ke sana.

Jadi, ketika akhir itu tiba — entah dalam bentuk apa pun — aku ingin bisa berkata dengan tenang:

“Aku sudah menjalaninya dengan baik.”

Karena sesungguhnya, tidak ada cerita yang benar-benar berakhir.
Selalu ada ruang untuk cerita yang lain.
Selalu ada kesempatan untuk memulai lagi.
Selalu ada halaman baru yang menunggu kita membukanya. — Rezqi Abdina

0 comments:

Posting Komentar

Kontak

Hubungi saya kalau kalian penasaran


Alamat Rumah

JL. Kuin Selatan Gg. Al-Hidayah No.102 RT.01 RW.01 Cerucuk, Banjarmasin Barat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Nomer Handpohone

+(62)821-5365-6192

Website Jualan

Abdina Store