Janji adalah sesuatu yang mudah diucapkan namun sering kali berat diwujudkan. Kata-katanya ringan, hanya sebaris kalimat yang meluncur dari mulut tanpa beban. Namun bagi seseorang yang mendengarnya, sebuah janji dapat menjadi alasan untuk tetap berharap, tetap tersenyum, atau tetap percaya bahwa ia tidak sendirian di dunia ini.
Aku butuh waktu lama untuk memahami hal sesederhana itu. Mungkin karena manusia memang terbiasa memandang segala sesuatu dari sudut kepentingannya sendiri, tanpa benar-benar mempertimbangkan apa yang dirasakan orang lain. Aku pun pernah menjadi bagian dari manusia yang demikian—mengucapkan janji dengan mudahnya, seolah itu tidak lebih dari sekadar angin yang lewat.
Namun suatu kejadian di masa lalu membuatku berhenti dan berpikir ulang tentang arti janji itu sendiri. Ada satu janji yang kelihatannya sepele, sederhana, bahkan mungkin konyol bagi sebagian orang. Tapi bagi seseorang yang pernah mempercayai ucapanku, janji itu adalah harapan kecil yang memancarkan cahaya. Dan ketika aku gagal menepatinya, aku menyaksikan sendiri bagaimana cahaya itu padam di depan mataku.
Cerita ini bukan tentang menyalahkan keadaan atau menjustifikasi kesalahan. Ini adalah cerita tentang sebuah pelajaran—pelajaran yang datang dari pengalaman pahit, hingga akhirnya membuatku memahami betapa berharganya sebuah janji yang ditepati.
Semuanya berawal pada suatu sore yang sejuk. Langit sedang biru, langit yang jarang kulihat belakangan karena pekerjaan sering mengunci waktuku di dalam ruangan berlampu putih. Hari itu, aku menyempatkan pulang lebih awal, sesuatu yang tak biasa.
Di depan rumah, aku melihat seseorang yang sudah seperti adik bagiku sendiri: Rani, anak tetangga yang sejak kecil sering bermain dan bercerita padaku. Usianya waktu itu sekitar 14 tahun—masa yang rawan, masa di mana seseorang merindukan sosok yang bisa ia percaya.
“Aaaa, kakak pulang!” serunya sambil berlari kecil menghampiri pagar.
Aku tersenyum. Ada sesuatu dari antusiasmenya yang selalu membuatku merasa ringan, seolah dunia tidak seberat itu. Rani adalah tipe anak yang penuh semangat namun sensitif—mudah tersenyum, tapi juga mudah menyimpan kecewa.
“Ada apa, Ran? Kok semangat banget?” tanyaku sambil tertawa.
Ia menunjukkan selembar kertas yang terlipat empat, lalu merentangkannya sehingga terlihat seperti poster mini.
“Kak, ini... minggu depan aku tampil baca puisi di acara sekolah! Kata guru, orang tua boleh datang, keluarga atau siapa saja... pokoknya aku mau kakak datang,” katanya sambil menatapku penuh harap.
Ada sesuatu di matanya waktu itu—sebuah cahaya kecil, murni, dan jujur. Cahaya harapan seorang anak yang jarang mendapat dukungan dari orang tuanya yang sibuk bertengkar dan kemudian bercerai. Rani tumbuh dengan banyak kekurangan dalam hal perhatian.
Mungkin karena itu, ia selalu memandangku sebagai sosok dewasa yang bisa ia andalkan.
“Tentu, kakak pasti datang,” jawabku tanpa berpikir panjang.
Senyumnya langsung mengembang. “Benar ya? Jangan lupa ya, Kak. Jam sembilan pagi. Di aula sekolah.”
“Iya, Ran. Kakak janji.”
Ia mengangguk mantap, seolah satu kalimat itu—aku janji—adalah jaminan paling kuat di dunia.
Seandainya waktu itu aku tahu betapa besar makna kalimat itu baginya, mungkin aku akan mengucapkannya dengan lebih hati-hati.
Satu minggu berlalu begitu cepat. Hari demi hari berlalu dengan rutinitas pekerjaan yang semakin menumpuk. Kantor sedang dalam masa audit internal, dan sebagai salah satu staf yang bertanggung jawab dalam penyusunan laporan, aku menjadi orang yang tidak bisa jauh dari meja, komputer, dan tumpukan berkas yang tak ada habisnya.
Namun meski demikian, di kepalaku selalu ada satu pengingat kecil: janji pada Rani.
Aku menandai tanggalnya, memasang alarm di ponsel, bahkan menyiapkan pakaian agar tidak kebingungan di pagi hari. Aku berniat untuk menepati janji itu. Aku ingin melihat Rani tampil. Aku ingin menjadi seseorang yang menepati ucapannya.
Namun hidup, seperti biasa, punya caranya sendiri untuk menguji manusia.
Malam sebelum hari acara, seorang rekan kerja mengirim pesan:
“Besok jangan lupa, kita harus selesaikan berkas cek final. Pimpinan minta jam 10 pagi sudah ada di mejanya.”
Aku terdiam.
Jam 10 pagi, sementara acara Rani dimulai pukul 9.
Aku mencoba tidur, tetapi pikiranku penuh dengan kemungkinan-kemungkinan. Bisa saja aku datang sebentar, melihat Rani tampil, lalu kembali ke kantor. Tapi keadaan tidak sesederhana itu. Jika aku terlambat, seluruh tim bisa kena tegur.
Pada akhirnya aku memutuskan: aku akan berusaha datang. Aku akan berangkat lebih pagi, melihat Rani tampil, lalu cepat-cepat ke kantor.
Tapi hidup sekali lagi menunjukkan ironi yang kerap ia miliki: semakin kita berusaha mengatur waktu, semakin ia memperlihatkan bahwa kita sebenarnya tidak pernah benar-benar berkuasa.
Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Pukul 6 aku sudah mandi dan bersiap. Aku bahkan sudah menyiapkan tas sejak malam.
Namun tepat ketika aku hendak berangkat, sebuah telepon dari kantor masuk:
“Kami butuh kamu sekarang. Ada masalah pada laporan data bulan lalu. Kalau tidak dibereskan pagi ini, audit tidak bisa berjalan.”
Aku menelan ludah. Rasanya dadaku langsung sesak.
“Baik, saya segera ke kantor,” jawabku, meski suara itu terasa lebih berat daripada biasanya.
Aku berpikir: mungkin aku masih bisa menyelinap pergi sebentar setelah masalah selesai. Tapi ternyata, masalah tidak selesai dalam satu jam. Tidak juga dalam dua jam.
Waktu berjalan terlalu cepat—jam 8, jam 8.30, jam 9.
Aku terus melirik jam sambil mengetik laporan dengan panik.
Jam 9.15.
Jam 9.30.
Jam 10.00.
Aku merasa ada gemuruh di dalam hati, seperti suara yang terus berkata: kamu harus di sana. Kamu sudah berjanji.
Namun tubuhku tetap terikat di kursi kantor, di bawah tekanan pekerjaan yang tidak bisa kutinggalkan begitu saja.
Baru pada pukul 10.47 aku akhirnya bisa keluar. Dengan terburu-buru aku menuju sekolah Rani, meski dalam hati aku tahu... mungkin sudah terlambat.
Dan benar saja.
Ketika aku tiba, parkiran sudah sepi. Aula sekolah tampak kosong, hanya beberapa guru membereskan kursi. Tidak ada lagi suara riuh anak-anak. Tidak ada lagi tepuk tangan. Tidak ada lagi yang ditunggu.
Aku masuk ke aula, menatap panggung kecil yang sudah gelap. Di sana, di ujung ruangan, aku melihat Rani.
Ia berdiri sendirian, memegang lembaran puisi di tangannya. Rambutnya sedikit berantakan, mungkin karena ia menahan air mata.
Ketika ia melihatku, ia mengangkat wajahnya. Ada senyum kecil yang ia paksa, sebuah senyum yang tidak benar-benar menjadi senyum.
“Kak... sudah datang ya?” katanya pelan.
Aku mendekat. “Maaf, Ran... kakak—”
“Tidak apa-apa,” potongnya cepat, terlalu cepat.
Tapi matanya bercerita lain.
Ada kekecewaan di sana.
Kekecewaan yang tidak ia ucapkan, tapi terasa jelas.
Dan itulah yang paling menyakitkan.
Aku mencoba menghiburnya. Aku mengajak ia makan setelah itu. Aku mencoba menciptakan suasana ceria, seolah ingin menebus seluruh waktu yang hilang.
Rani tetap tersenyum, tapi aku tahu itu bukan senyum bahagia. Itu adalah senyum seseorang yang berusaha menyembunyikan luka.
Beberapa hari setelah itu, Rani menjadi sedikit lebih pendiam. Tidak lagi berlari menghampiriku setiap sore. Tidak lagi bercerita panjang lebar tentang sekolahnya. Seolah ada jarak yang tak kasat mata tetapi nyata antara kami.
Aku menyadari: aku sudah mengecewakannya. Dan lebih buruk lagi, aku mengecewakan seorang anak yang memegang kata-kataku sebagai pegangan.
Di kamar, aku memikirkan kejadian itu berulang-ulang. Aku mengingat kembali tatapan matanya di aula—tatapan yang aku tidak akan pernah lupa.
Tatapan itu membuatku memahami sesuatu:
Bahwa janji yang tidak ditepati bisa menjadi luka yang diam.
Luka yang tidak terlihat dari luar, tetapi tajam dari dalam.
Butuh waktu lama sampai aku berani meminta maaf dengan sungguh-sungguh pada Rani. Suatu sore aku mengetuk pintu rumahnya dan memanggil namanya. Ia keluar dengan wajah datar—tidak marah, tidak sedih, hanya datar.
“Ran,” kataku pelan, “kakak mau minta maaf. Hari itu... kakak—”
“Kakak sibuk, aku tahu,” katanya, mencoba tersenyum lagi.
“Tapi itu bukan alasan untuk melanggar janji.”
Ia menatapku—kali ini lebih jujur, lebih dalam. “Aku cuma... berharap kakak datang. Aku cuma ingin ada yang mendukung aku. Cuma itu. Tapi aku sudah terbiasa kok.”
Kalimat itu seperti hantaman di dada.
“Aku sudah terbiasa.”
Tidak seharusnya seorang anak terbiasa merasa tidak didukung. Tidak seharusnya ia belajar menerima bahwa harapan sering kali harus mati.
Sejak hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri:
Aku tidak akan pernah mengucapkan janji sembarangan lagi.
Bukan karena takut gagal, tetapi karena aku tahu bagaimana rasanya mengecewakan seseorang yang mempercayai kita.
Sejak kejadian itu, setiap kali seseorang memintaku berjanji, aku selalu berhenti sejenak. Aku berpikir lebih lama. Aku mempertimbangkan segala kemungkinan. Aku tidak lagi berkata “iya” dengan mudah.
Kadang orang menganggapku terlalu berhati-hati, terlalu serius, terlalu banyak pertimbangan. Tapi aku tidak peduli.
Lebih baik tidak berjanji daripada mengingkari.
Toh, pada akhirnya janji bukanlah tentang kata-kata manis.
Janji adalah tanggung jawab. Janji adalah kepercayaan.
Dan aku tahu rasanya kehilangan kepercayaan seseorang—bahkan jika ia tidak mengatakan apa-apa.
Waktu berlalu. Rani tumbuh menjadi remaja yang lebih mandiri. Hubungan kami membaik perlahan, meski tidak akan pernah sama seperti dulu. Ia tetap ramah, tetap hangat, tapi ada bagian tertentu dari dirinya yang tidak lagi kubisa sentuh seperti dulu.
Suatu hari, tanpa kuduga, ia berkata sambil tersenyum tipis:
“Kak... aku tahu hari itu kakak tidak sengaja. Aku dulu kecewa, tapi aku tidak marah. Kakak mungkin sibuk, tapi kakak selalu baik sama aku. Jadi aku tidak mau mengingat yang buruk-buruk.”
Aku terdiam. Ada rasa lega sekaligus luka yang samar.
Kadang, maaf dari orang lain justru membuat kita semakin sadar akan kesalahan kita.
Dan maaf dari seorang anak kecil... itu jauh lebih besar pengaruhnya.
Sejak hari itu aku semakin berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Bukan hanya dalam menepati janji, tapi dalam segala hal yang menyangkut kepercayaan orang lain.
Ada banyak hal yang kita pelajari dalam hidup ini.
Ada pelajaran tentang cinta, tentang kehilangan, tentang penerimaan.
Namun di antara semua itu, ada satu pelajaran kecil namun sangat berarti:
Janji yang ditepati dapat menjadi bentuk cinta paling sederhana, namun paling nyata.
Aku menyadari bahwa janji bukanlah hanya tentang hadir atau tidak hadir.
Janji adalah cermin tentang siapa diri kita.
Seberapa bertanggung jawab kita.
Seberapa besar kita menghargai orang lain.
Dan seberapa banyak kita menghargai kepercayaan yang diberikan kepada kita.
Kini setiap kali aku mengucapkan janji, aku membayangkan tatapan mata Rani hari itu—tatapan kecewa yang tidak pernah aku lupakan. Dan tatapan itu selalu menjadi pengingat agar aku menjaga kata-kataku sebagaimana aku ingin menjaga hati orang lain.
Janji bukanlah hal remeh.
Ia mungkin kecil, tetapi dampaknya bisa besar.
Setiap janji yang kita tepati adalah bentuk penghargaan kepada orang lain.
Setiap janji yang kita tepati adalah bukti bahwa kita mampu dipercaya.
Sebaliknya, janji yang diingkari adalah luka yang tidak selalu terlihat—tetapi bisa membekas dalam waktu yang sangat lama.
Hari ini, aku tidak lagi mudah berkata “aku janji”.
Tapi setiap janji yang akhirnya aku ucapkan adalah sesuatu yang benar-benar akan aku perjuangkan.
Karena aku percaya,
cinta yang jujur bukan hanya tentang kata-kata manis, melainkan tentang kesediaan untuk hadir ketika kita dibutuhkan.
Dan janji yang ditepati adalah salah satu bentuk cinta yang paling nyata. — Rezqi Abdina
0 comments:
Posting Komentar