Ada satu hal yang selalu berhasil mengusikku, bahkan ketika aku berusaha mengabaikannya: masa depan. Entah sejak kapan aku mulai memikirkan hal itu secara berlebihan. Mungkin sejak aku menyadari bahwa waktu tidak pernah berhenti. Atau mungkin sejak aku menyadari bahwa menjadi dewasa berarti menanggung berbagai jenis ketakutan yang dulu tak pernah terpikirkan.
Setiap kali aku melihat ke depan, ada ketidakpastian yang menggantung seperti kabut tebal. Kabut itu tidak selalu menakutkan, tetapi cukup gelap untuk membuatku berhenti pada beberapa langkah tertentu. Di dalam kabut itu ada pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban:
“Apakah aku akan berhasil?”
“Apakah aku membuat keputusan yang benar?”
“Apakah aku akan menjadi seseorang yang aku banggakan suatu hari nanti?”
Semua pertanyaan itu seperti suara kecil yang tak pernah benar-benar berhenti. Ia tidak berteriak, tapi selalu ada… menipiskan rasa tenang yang seharusnya bisa kurasakan setiap kali aku mencoba beristirahat dari dunia yang bergerak terlalu cepat.
Namun di saat yang sama, masa lalu berdiri seperti bayangan yang tidak pernah mau benar-benar pergi. Ia tidak menakutkan, tetapi memiliki cara unik untuk membuatku tersenyum sekaligus merasakan sedikit perih. Masa lalu bukan hanya tentang penyesalan; ia juga tentang ingatan-ingatan yang membentuk diriku, entah aku menyadarinya atau tidak.
Aku masih bisa melihat dengan jelas bagaimana diriku di masa sekolah dulu. Seorang anak yang pemalu, sedikit keras kepala, tidak terlalu pandai menunjukkan perasaan, dan mencoba menjadi kuat meski tidak selalu tahu bagaimana caranya. Ada masa-masa ketika aku ingin sekali kembali dan menepuk bahu diriku yang dulu sambil berkata,
“Tenang saja, semuanya tidak seburuk yang kamu kira.”
Tapi tentu saja, waktu bukan sesuatu yang bisa kutarik mundur. Ia adalah sesuatu yang berjalan lurus, maju tanpa kompromi. Namun menariknya, meski ia maju, ia meninggalkan jejak yang bisa kulihat kapan pun aku membutuhkannya.
Seperti ketika guru semasa SMK pernah berkata,
“Kamu tidak bisa maju kalau terus menatap ke belakang, Qi.”
Waktu itu aku hanya mengangguk—karena aku pikir itu hanya kalimat motivasi biasa yang sering didengar di sekolah.
Tapi semakin dewasa aku, semakin aku merasa bahwa kalimat itu seperti petunjuk kecil yang sengaja ditinggalkan untukku. Kalimat yang baru benar-benar kupahami setelah beberapa tahun berlalu.
Masa lalu tidak selalu menyakitkan. Kadang ia berupa momen kecil yang hangat:
— tawa teman-teman saat pulang sekolah,
— suara ibu yang memanggil dari dapur,
— aroma hujan yang dulu terasa lebih menenangkan,
— mimpi-mimpi yang begitu besar saat itu, bahkan terlalu besar untuk ukuran anak seusia itu.
Dan dari semua itu, aku memahami satu hal: tidak ada yang benar-benar hilang. Semua hanya berubah bentuk. Apa yang dulu kukenal sebagai harapan masa kecil kini berubah menjadi realita yang harus kuhadapi dengan dewasa.
Bukan hanya kenangan indah yang melekat di masa lalu. Ada juga hal-hal yang sering membuatku menghela napas panjang.
Kesempatan yang terlewat.
Keputusan yang salah.
Kata-kata yang seharusnya tidak kuucapkan.
Perpisahan yang terjadi tanpa benar-benar kusiapkan hati.
Seperti semua orang, aku juga memiliki daftar penyesalanku sendiri. Biasanya, penyesalan itu muncul bukan karena sesuatu yang besar, tetapi karena hal-hal kecil yang saat itu kupikir tidak berarti—padahal diam-diam membawaku pada jalan yang berbeda.
Aku pernah berandai-andai:
“Seandainya dulu aku memilih ini…”
“Seandainya dulu aku berani melangkah ke sana…”
“Seandainya dulu aku tidak takut mencoba…”
Namun kemudian aku bertanya pada diriku sendiri:
Kalau waktu benar-benar bisa kuputar kembali, apakah benar aku akan memilih jalan yang berbeda?
Dan kalau iya, apa itu menjamin hidupku lebih baik dari sekarang?
Tidak ada yang bisa menjawab itu. Bahkan aku pun tidak.
Pada titik itulah aku mulai sadar bahwa menahan masa lalu hanya akan melukai diri sendiri. Penyesalan bukan untuk diperbaiki—karena waktu tidak bisa disusun ulang. Penyesalan hanya untuk dipahami. Untuk dijadikan pondasi agar langkah berikutnya lebih kuat dan lebih bijak.
Masa lalu bukan musuh. Ia hanya versi lama dari diriku yang ingin didengar sebentar sebelum aku melangkah lagi.
Kalau masa lalu mengajarkanku tentang memahami dan menerima, masa depan mengajarkanku tentang keberanian.
Ada saat ketika aku takut sekali menatap ke depan. Bukan karena aku tidak punya mimpi, tapi karena aku sadar bahwa mimpi membutuhkan risiko dan kerja keras yang tidak sedikit.
Aku takut gagal.
Takut mengecewakan orang-orang yang percaya padaku.
Takut memilih langkah yang salah.
Takut membuat keputusan yang nanti akan kusalahkan.
Namun perlahan aku mengerti bahwa ketakutan itu sebenarnya wajar. Semua orang memilikinya. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi besok, satu jam lagi, atau bahkan satu menit ke depan.
Masa depan tidak membutuhkan kita menjadi sempurna.
Ia hanya butuh kita berani melangkah, meski takut.
Aku belajar bahwa keberanian bukan tentang tidak merasa takut, tetapi tentang tetap berjalan meski rasa takut itu ada.
Dari mana pun aku melihatnya, hari ini selalu menjadi waktu yang paling jujur. Tidak seperti masa lalu yang tidak bisa kuubah atau masa depan yang tidak bisa kutebak, hari ini adalah ruang di mana aku benar-benar bisa memilih, menentukan, dan melakukan sesuatu.
Jika masa lalu adalah guru, dan masa depan adalah misteri, maka hari ini adalah tempat aku menerjemahkan keduanya menjadi tindakan.
Hari ini adalah titik temu.
Hari ini adalah jembatan.
Hari ini adalah tempat semua waktu bersinggungan.
Ada hari-hari ketika aku terlalu fokus menatap masa depan, hingga lupa merasakan angin yang menyentuh kulitku hari ini. Ada masa ketika aku terlalu sibuk menyesali masa lalu hingga tidak memperhatikan nikmat sederhana yang ada di depan mata.
Aku sering lupa bahwa hidup itu terjadi sekarang, bukan kemarin, bukan besok.
Maka perlahan aku mulai belajar:
— menikmati secangkir kopi tanpa tergesa-gesa,
— menghargai percakapan kecil dengan orang tua,
— tersenyum pada diriku sendiri ketika pagi terasa berat,
— memberi izin pada diriku untuk tidak sempurna,
— dan merasa cukup untuk hal-hal sederhana yang dulu terasa biasa saja.
Berdamai dengan masa lalu bukan berarti melupakan, tetapi memahami bahwa aku sudah melakukan yang terbaik dari versiku yang dulu.
Berdamai dengan masa depan bukan berarti berhenti bermimpi, tetapi menerima bahwa tidak semua yang kuharapkan harus terjadi sesuai rencana.
Aku belajar bahwa kedewasaan datang bukan dari usia, melainkan dari kesadaran bahwa segala sesuatu memiliki waktunya masing-masing.
Ada waktu untuk menyesal, ada waktu untuk menerima.
Ada waktu untuk mengejar, ada waktu untuk melepaskan.
Ada waktu untuk berharap, ada waktu untuk bersyukur atas apa yang sudah ada.
Dan yang paling penting, ada waktu untuk berhenti sejenak dan menyadari bahwa aku tidak harus menyelesaikan semuanya sekaligus.
Sering kali kita hanya fokus pada hasil. Kita ingin sukses, ingin bahagia, ingin merasa tenang—tanpa melihat bahwa semuanya itu adalah hasil dari proses panjang yang diam-diam membentuk kita.
Mungkin aku belum sampai pada titik yang kuinginkan.
Mungkin aku masih belajar berjalan di jalan yang belum sepenuhnya kupahami.
Mungkin aku masih sering goyah.
Tapi itu tidak apa-apa.
Karena setiap langkah kecil tetaplah langkah. Dan setiap detik yang berlalu tetap membawaku lebih dekat pada diriku yang ingin aku banggakan suatu hari nanti.
Ada satu kalimat yang sering kuulang dalam hati:
“Aku tidak harus tahu semuanya sekarang.”
Dan kalimat itu—sesederhana apa pun—selalu berhasil memberiku sedikit ketenangan.
Masa depan bukan untuk ditakuti. Ia untuk disambut perlahan-lahan, dengan cara yang tidak menyakiti diri sendiri. Masa depan bukan tentang memaksakan diri untuk sempurna, tetapi tentang menyiapkan diri untuk berubah sedikit demi sedikit.
Karena pada akhirnya… masa depan dibangun dari keberanian untuk terus melangkah, meski kita tidak tahu ke mana arah kabut itu akan menuntun.
Setelah semua perjalanan batin antara masa lalu dan masa depan, aku menyadari satu hal penting:
Hidup tidak pernah meminta kita menjadi sempurna.
Hidup hanya meminta kita memahami.
Memahami bahwa masa lalu adalah tempat kita belajar.
Masa depan adalah tempat kita berharap.
Dan hari ini adalah tempat kita tinggal.
Jika kita terus menatap ke belakang, kita tidak akan pernah maju.
Jika kita terlalu fokus ke depan, kita akan kehilangan makna saat ini.
Maka hiduplah di tengah-tengahnya—di ruang kecil bernama sekarang.
Jangan biarkan masa lalu mengurung langkahmu.
Jangan biarkan masa depan menakutimu.
Karena di antara dua waktu itu, ada dirimu yang sedang berjuang…
dan itu sudah lebih dari cukup. — Rezqi Abdina
0 comments:
Posting Komentar