Ada masa di mana aku percaya bahwa hadiah adalah sesuatu yang selalu bisa disentuh. Bahwa ia hadir dalam bentuk kotak rapi, dibungkus kertas berwarna, dan dihiasi pita cantik di atasnya. Masa ketika aku masih menganggap bahwa kebahagiaan datang dari hal-hal yang terlihat, dari kejutan-kejutan yang diberikan orang lain, atau dari sesuatu yang dapat kupamerkan kepada dunia.
Tapi bertambah usia membuatku mengerti satu hal: tidak semua hadiah bisa digenggam. Ada hadiah yang hadir dalam bentuk pengalaman. Ada hadiah yang bukan berupa benda, melainkan perasaan. Dan ada hadiah yang justru datang dari peristiwa yang awalnya terasa pahit, namun menyimpan hikmah yang menguatkan jiwa.
Perjalanan hiduplah yang akhirnya membuatku memahami hal itu. Perjalanan yang tidak selalu mulus, tidak selalu penuh tawa, tetapi justru dipenuhi oleh kejutan-kejutan yang tidak pernah kuminta. Dan dari semua itu, aku perlahan menyadari bahwa hadiah terbesar sering kali adalah hal-hal yang dulu tak pernah kusadari keberadaannya.
Dulu, aku sering merasa hidup ini tidak adil. Ada saat-saat ketika aku yakin bahwa aku layak mendapatkan lebih, bahwa semua kebaikan yang kulakukan pantas dibalas dengan sesuatu yang besar — pengakuan, kesempatan, atau setidaknya cinta yang tidak pernah kubalas dengan penolakan.
Aku merasa hidup berutang padaku.
Seperti ketika aku bekerja keras di sekolah, berharap nilai sempurna akan datang sebagai penghargaan. Seperti ketika aku berusaha menyenangkan semua orang, menunggu ucapan terima kasih yang tak kunjung tiba. Atau saat aku mencintai seseorang dengan sepenuh hati, tetapi justru menerima kenyataan bahwa ia memilih orang lain.
Pada masa itu, aku sering menanyakan hal yang sama kepada diriku sendiri:
“Kenapa hidup tidak memberi apa yang kuminta?”
Dan saat tidak mendapatkannya, aku merasa marah. Aku merasa kecewa. Seolah dunia memalingkan wajah dan membiarkanku berdiri sendiri—kosong, tanpa hadiah apa pun.
Tapi semakin aku menua, semakin aku menyadari bahwa mungkin, aku lah yang salah memaknai kata “hadiah”.
Karena kehidupan sebenarnya tidak pernah berjanji bahwa ia akan memberi segala yang kita minta. Ia hanya memberi apa yang kita butuhkan, pada saat yang tepat, dengan cara yang kadang tidak kita mengerti.
Salah satu hadiah paling pahit yang pernah kuterima adalah kehilangan. Dan aku yakin, setiap orang punya cerita kehilangan mereka sendiri.
Aku pernah kehilangan seseorang yang sangat kusayangi. Kehilangan yang bukan karena kematian, bukan karena pertengkaran, tetapi karena jarak — jarak yang perlahan menghapus keintiman dan mengubah kedekatan menjadi sekadar kenangan.
Aku masih ingat malam ketika aku menyadari bahwa tak ada lagi pesan yang berbunyi, dan panggilan yang biasa datang setiap malam perlahan menghilang. Ia mulai sibuk, aku mulai diam, dan tanpa sadar, kami berjalan menjauh hingga akhirnya menghilang dari hidup masing-masing.
Awalnya aku marah.
Aku merasa kehidupan mengambil seseorang dariku tanpa alasan. Aku mengira bahwa apa yang hilang itu adalah hukuman, atau mungkin kegagalan. Tapi waktu mengajariku bahwa tidak semua kehilangan adalah akhir yang buruk.
Dalam diam yang ditinggalkannya, aku belajar tentang arti berdiri sendiri. Dalam jarak yang memisahkan kami, aku belajar tentang arti menghargai diri sendiri. Dan dalam luka yang ditinggalkan, aku belajar tentang arti mengikhlaskan.
Ada hadiah yang hanya bisa kita terima setelah kita kehilangan sesuatu atau seseorang. Hadiah berupa ketegaran. Hadiah berupa pemahaman. Hadiah berupa hati yang lebih kuat.
Mungkin, kehilangan memang bukan hadiah yang kuinginkan—but mungkin ia adalah hadiah yang kubutuhkan untuk tumbuh dewasa.
Tidak ada yang ingin gagal. Dan aku pun tidak.
Aku pernah mengejar sesuatu dengan sepenuh tenaga — sebuah kesempatan yang kuimpikan sejak lama. Aku berlatih, belajar, mempersiapkan diri. Aku berharap bahwa semua perjuangan itu akan membayar. Bahwa akhirnya aku akan mendapatkan apa yang layak kuterima.
Tapi hidup berkata lain.
Pada hari yang menentukan, aku gagal.
Dan pada saat itu, dunia serasa berhenti. Aku merasa semua usahaku sia-sia. Aku bertanya lagi dalam hati:
“Jika aku sudah berjuang, kenapa aku tidak mendapatkannya?”
Selama beberapa waktu, aku tenggelam dalam penyesalan. Aku menyalahkan diri sendiri. Aku merasa tidak berguna. Tapi setelah badai itu mereda, aku menyadari sesuatu.
Gagal bukan berarti tidak layak. Gagal bukan berarti usaha kita tidak dihargai oleh kehidupan.
Terkadang, kegagalan hadir untuk mengarahkan kita ke jalur yang lebih tepat. Untuk mendorong kita melihat dari sudut pandang lain. Untuk mengajarkan bahwa yang kita inginkan mungkin bukan yang terbaik untuk kita.
Kegagalan itu, meski tidak manis, adalah hadiah yang menyamar. Hadiah yang tidak dibalut dengan kertas indah, tapi mengandung pelajaran paling berharga.
Karena dari kegagalan, aku belajar sesuatu yang tidak pernah diajarkan oleh kemenangan:
Bahwa apa pun hasilnya, kita tetap berharga.
Ada orang-orang yang hadir dalam hidup kita sebentar saja, lalu pergi. Mereka datang seperti angin — menyapa, memberi sedikit kehangatan, lalu hilang tanpa jejak. Dan meski mereka hanya tinggal sejenak, pengaruhnya bisa menetap seumur hidup.
Aku pernah bertemu seseorang seperti itu. Ia bukan teman dekat, bukan kekasih, bahkan bukan seseorang yang selalu hadir. Tapi dari waktunya yang singkat, ia meninggalkan sesuatu yang tidak bisa kulupakan: cara pandangnya terhadap kehidupan.
Ia tipe orang yang melihat dunia dengan mata yang berbeda. Ia bisa melihat kebaikan dalam hal kecil. Ia bisa tertawa meski hari berjalan berat. Ia bisa mengatakan kata-kata sederhana yang membuat hati terasa lebih ringan.
Kami tidak lama bersama. Hidup membawa kami ke arah berbeda. Jalan kami terpisah, dan komunikasi perlahan memudar.
Tapi kehadirannya, walau singkat, adalah hadiah. Hadiah berupa perspektif baru. Hadiah berupa keberanian untuk lebih menghargai diri sendiri. Hadiah berupa keyakinan bahwa kadang seseorang memang datang hanya untuk memberi “pengingat” kecil yang akan kita bawa selamanya.
Tidak semua orang yang pergi adalah kehilangan. Ada yang hadir hanya untuk mengajarkan sesuatu—lalu melanjutkan perjalanannya.
Dan itu pun sebuah hadiah.
Bertambahnya usia membuatku belajar untuk memperhatikan hal-hal kecil yang dulu sering kuabaikan.
Dulu, aku menginginkan hal-hal besar. Hadiah mewah. Prestasi tinggi. Capaian yang tampak bersinar. Tetapi sekarang, hidup mengajariku bahwa justru hal-hal sederhana lah yang menyimpan makna terbesar.
Senyum ibu saat menyambutku pulang.
Nasehat ayah yang suaranya kadang terdengar tegas tapi sebenarnya penuh kasih.
Tawa teman-teman yang membuatku merasa tidak sendirian.
Udara pagi yang sejuk.
Matahari yang terbit setiap hari tanpa diminta.
Badan yang sehat, meski tidak sempurna.
Waktu yang masih diberikan Tuhan hari ini.
Dulu aku tidak menyadarinya.
Dulu aku merasa itu semua biasa saja.
Tapi kini aku mengerti:
Semua itu adalah hadiah. Hadiah yang datang setiap hari, tetapi tidak semua orang menyadarinya.
Kesederhanaan ternyata adalah bentuk hadiah paling tulus, karena ia hadir tanpa pamrih, tanpa perayaan, tanpa menuntut balasan.
Aku pernah menerima hadiah yang tidak kuminta — sebuah pengalaman buruk yang mengubah hidupku.
Itu terjadi ketika aku mengalami masa paling gelap dalam hidupku. Masa ketika aku kehilangan arah, kehilangan semangat, dan hampir menyerah. Tidak ada yang berjalan sesuai harapan. Tidak ada hal yang terasa benar. Aku merasa hidup berhenti memberi apa pun kepadaku.
Tapi justru di masa itu aku belajar sesuatu:
Bahwa bahkan kejatuhan pun bisa menjadi hadiah—jika kita mengizinkannya.
Saat aku jatuh, aku ternyata menemukan hal-hal yang dulu tak pernah kulihat:
Aku menemukan manusia-manusia baik yang peduli tanpa diminta.
Aku menemukan diriku sendiri yang ternyata lebih kuat dari yang kukira.
Aku menemukan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan, hanya mengarahkan.
Aku menemukan bahwa ketidakpastian pun mengandung harapan.
Dan dari sana aku belajar, bahwa hadiah tidak selalu hadir dalam bentuk yang menyenangkan. Kadang ia hadir dalam bentuk badai. Karena badai lah yang membuat akar tumbuh lebih dalam.
Pada akhirnya, pemahaman paling penting tentang hadiah bukan pada bentuknya, bukan pada ukurannya, tetapi pada cara kita menerimanya.
Hadiah terbesar dalam hidup tidak selalu berupa sesuatu yang baru, tetapi cara kita melihat apa yang sudah ada.
Ketika kita berhenti menuntut, kita mulai menerima.
Ketika kita berhenti membandingkan, kita mulai bersyukur.
Ketika kita berhenti mengejar yang jauh, kita mulai melihat yang dekat.
Dan di situlah hadiah sebenarnya berada — bukan di masa depan, bukan di tempat yang jauh, tetapi di sini, di saat ini.
Dalam napas yang masih hangat.
Dalam langkah yang masih bisa dilakukan.
Dalam hati yang masih mampu mencintai.
Semua itu adalah hadiah yang jarang kita sadari.
Sekarang, ketika aku menatap perjalanan panjang hidupku, aku mulai mengerti bahwa semua yang pernah terjadi — yang manis, yang pahit, yang membuat bahagia, maupun yang membuat hati hancur — semuanya adalah bagian dari hadiah.
Hidup tidak perlu sempurna untuk menjadi berharga.
Dan hadiah tidak harus besar untuk berarti.
Kadang, hanya dengan bisa bangun pagi, tersenyum pada diri sendiri, dan berkata “Aku baik-baik saja”, itu pun sudah merupakan hadiah luar biasa.
Karena pada akhirnya, kita tidak benar-benar hidup untuk mengejar hadiah — kita hidup untuk menyadari bahwa kehidupan itu sendiri adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan. Dan tugas kita hanyalah menjalaninya dengan kesadaran dan rasa terima kasih.
Hidup selalu memberi.
Hanya saja, dulu aku terlalu sibuk mencari yang besar hingga lupa melihat yang sederhana.
Kini aku belajar.
Bahwa setiap nafas adalah karunia.
Setiap pertemuan adalah pelajaran.
Setiap kehilangan adalah pertumbuhan.
Setiap luka adalah pendewasaan.
Setiap harapan adalah kekuatan.
Dan setiap hari adalah hadiah baru—yang menunggu untuk disyukuri dengan hati yang lapang. — Rezqi Abdina
0 comments:
Posting Komentar