Rasa bersalah adalah salah satu perasaan paling aneh yang dimiliki manusia. Ia tidak datang secara tiba-tiba seperti marah atau sedih. Ia tidak seheboh kebahagiaan, tidak sekuat amarah, dan tidak sedalam duka. Namun ia bertahan paling lama. Ia berjalan pelan, menempel di hati, dan menetap dalam ruang yang kadang tidak ingin kita sentuh. Ia bisa bersembunyi selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba muncul hanya karena satu aroma, satu kalimat, atau satu momen kecil yang tampaknya sepele.
Ada saat-saat dalam hidupku ketika aku merasa bahwa semuanya baik-baik saja. Aku menjalani hari seperti biasa, mencoba menjadi yang terbaik bagi diriku dan orang-orang di sekitarku. Tapi kenyataan tidak selalu sebagus itu. Kadang, di balik tawa kecil yang kutunjukkan, ada perasaan bersalah yang menunggu waktu untuk menegurku. Dan teguran itu sering kali datang ketika aku sedang sendirian—di malam hari, ketika dunia terasa sunyi, ketika suara-suara lain menghilang dan yang tersisa hanya pikiranku sendiri.
Aku masih ingat jelas satu momen yang menjadi awal dari rasa bersalah yang lama kusimpan. Waktu itu aku masih sekolah. Ada seorang teman yang sebenarnya tidak begitu dekat denganku. Dia anak yang pendiam, tidak banyak bicara, dan kadang terlihat seperti berusaha keras untuk sekadar terlihat “ada”. Di kelas, ia sering duduk sendirian. Jika kami sedang bekerja kelompok, ia lebih sering menunggu diajak daripada menawarkan diri untuk bergabung.
Suatu hari, ia menghampiriku. Sebenarnya itu bukan hal besar. Ia hanya ingin meminjam pulpen. Tapi entah kenapa, mungkin karena aku sedang kesal atau lelah, aku menjawab dengan nada yang ketus. “Ambil di meja guru saja,” kataku sambil berpaling, seakan keberadaannya tidak penting.
Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk dan pergi. Tapi ekspresi wajahnya waktu itu—sekilas sedih namun ditutup dengan senyum tipis yang dipaksakan—entah kenapa tertanam dalam ingatanku hingga hari ini. Mungkin karena setelah kejadian itu, ia semakin jarang berbicara dengan orang lain. Ia makin sering menunduk saat berjalan, makin sering menyendiri bahkan saat jam istirahat.
Aku tidak tahu apakah ucapanku waktu itu benar-benar membuatnya sedih, atau ia memang sedang punya masalah lain. Tapi sejak hari itu, ada sesuatu di dadaku yang terasa berat setiap kali melihatnya. Ada ketukan kecil yang berkata, kamu salah. Namun, seperti kebanyakan orang, aku memilih untuk mengabaikannya.
Rasa bersalah sering kali tidak langsung terasa besar. Ia mulai dari hal-hal kecil, dari kesalahan yang kita anggap sepele. Kita menumpuknya, menutupinya, dan menyimpan semuanya dalam diam. Dan ketika tumpukan itu menjadi terlalu besar, kita baru menyadari bahwa kita sedang memikul sesuatu yang tak pernah kita rencanakan—beban yang tidak tampak, tapi beratnya bisa mengguncang jiwa.
Waktu berlalu. Aku lulus sekolah, masuk jenjang yang lebih tinggi, lalu akhirnya bekerja. Dunia kupikir akan berubah banyak. Dan memang berubah—tapi rasa bersalah tidak ikut pergi. Bahkan ia tumbuh, bertambah besar seiring usiaku. Ia berganti wujud, mengikuti setiap langkah yang kuambil.
Ada lagi momen lain yang membuatku kembali merasakan hal yang sama. Kali ini bukan tentang teman sekolah, tetapi tentang keluarga. Suatu malam, ibuku memanggilku. Ia ingin bercerita tentang sesuatu—tentang hari-harinya, tentang tubuhnya yang mulai lelah, tentang hal-hal kecil yang membuatnya khawatir. Namun waktu itu aku sedang sibuk dengan pekerjaanku. Tanpa menatap wajahnya, aku berkata pelan, “Nanti dulu, Ma. Aku capek.”
Ibuku mengangguk, seperti biasa memahami. Ia tidak pernah menuntut, tidak pernah marah. Tapi setelah masuk ke kamarnya, aku mendengar pintu ditutup perlahan. Sunyi. Dan entah kenapa, malam itu aku tidak bisa tidur. Ada rasa yang mengganjal, seperti ada yang salah, tapi aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk memperbaikinya.
Keesokan harinya, ketika aku ingin berbicara dengannya, beliau sedang keluar. Dan ketika malam tiba, aku terlalu sibuk memikirkan hal lain. Begitulah seterusnya. Aku menunda, menunda, dan menunda… sampai akhirnya aku menyadari sesuatu: bukan hanya aku yang semakin dewasa—ibuku juga semakin tua.
Dan dari situ rasa bersalah itu tumbuh lagi. Halus, pelan, tapi menghantam sangat dalam.
Rasa bersalah paling kuat bukan berasal dari kesalahan besar, tetapi dari hal-hal kecil yang kita biarkan berlalu begitu saja.
Dari kata-kata yang tidak kita ucapkan.
Dari perhatian yang tidak sempat diberikan.
Dari janji kecil yang kita tunda sampai lupa.
Dari kesempatan untuk berbuat baik yang kita abaikan.
Dan waktu… tidak pernah menunggu kita untuk memperbaikinya.
Aku akhirnya mengerti bahwa rasa bersalah adalah bagian dari perjalanan manusia. Ia datang untuk memberi kita pemahaman. Ia hadir bukan untuk menghukum, tapi untuk menyadarkan bahwa kita mampu menjadi lebih baik dari diri kita sebelumnya.
Ada orang yang mengatakan bahwa rasa bersalah itu buruk. Bahwa itu hanya membawa luka yang tidak perlu. Tapi bagiku, rasa bersalah adalah cermin. Ia memantulkan bagian diri yang tidak ingin kita akui. Ia memaksa kita menatap sesuatu yang kita tutupi. Dan dengan menatapnya, kita belajar untuk berdamai.
Dalam proses itu, aku belajar banyak hal:
Bahwa tidak apa-apa untuk mengaku salah.
Bahwa meminta maaf bukan tanda kelemahan.
Bahwa memperbaiki sesuatu tidak harus sempurna.
Dan bahwa memaafkan diri sendiri adalah langkah paling sulit, tetapi paling penting.
Ada satu momen yang akhirnya membuka mataku sepenuhnya. Aku bertemu lagi dengan teman sekolahku—anak pendiam yang dulu pernah kupatahkan hatinya tanpa sadar. Ia tidak lagi terlihat pemalu. Ia sudah bekerja, terlihat dewasa, dan lebih percaya diri.
Saat kami bertemu, aku mengira ia akan bersikap canggung atau menjaga jarak. Namun ia justru tersenyum hangat, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Masih ingat zaman sekolah dulu?” katanya sambil tertawa kecil.
Aku mengangguk. Jantungku berdetak cepat. Namun sebelum aku sempat menyusun kata untuk meminta maaf, ia berkata:
“Kalau aku dulu banyak diam, itu bukan karena orang lain, tapi karena aku memang begitu sejak kecil. Jadi tenang saja, kamu nggak bikin aku sakit hati kok.”
Kalimat itu… entah kenapa membuatku ingin menangis. Bukan karena isi ucapannya, tapi karena kesadaran bahwa selama ini aku menyiksa diriku sendiri dengan rasa bersalah yang sebenarnya tidak sebesar yang kubayangkan. Terkadang, kita terlalu jahat pada diri sendiri—menghukum diri atas hal-hal yang mungkin tidak sepenuhnya salah.
Namun bukan berarti rasa bersalah itu sia-sia. Justru dari situlah aku belajar bagaimana memperlakukan orang dengan lebih lembut. Aku mulai belajar mendengarkan lebih dalam, memperhatikan lebih banyak, dan menjaga kata-kataku.
Kini aku mengerti satu hal penting:
Rasa bersalah bukan musuh. Ia adalah guru yang tersembunyi.
Ia mengajarkan kita tentang empati.
Ia mengingatkan kita tentang waktu.
Ia menunjukkan bahwa kita peduli.
Ia menuntun kita untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Dan yang terpenting, ia membuat kita lebih manusiawi.
Kita semua pernah salah.
Kita semua pernah menyakiti tanpa sengaja.
Kita semua punya penyesalan yang sulit dijelaskan.
Namun hidup bukan tentang menghapus masa lalu, tetapi tentang memperbaiki masa depan.
Pada akhirnya, aku belajar untuk memeluk rasa bersalahku, bukan untuk menyimpannya sebagai beban, tetapi sebagai pengingat bahwa aku mampu belajar dan berubah. Aku mulai memberi ruang bagi diriku untuk memaafkan, terutama memaafkan diri sendiri.
Karena jika kita tidak bisa memaafkan diri sendiri, kita tidak akan pernah benar-benar bebas.
Dan sekarang, ketika rasa bersalah itu datang lagi—karena memang ia selalu datang dari waktu ke waktu—aku tidak lagi takut. Aku menatapnya, menarik napas pelan, dan berkata dalam hati:
“Aku tahu kamu ada untuk mengingatkanku. Tapi kali ini, aku tidak akan lari. Aku akan belajar darimu.”
Sebab, pada akhirnya, rasa bersalah hanyalah tanda bahwa kita masih punya hati yang peduli. Dan selama kita bisa belajar darinya, kita tidak pernah benar-benar gagal. - Rezqi Abdina
0 comments:
Posting Komentar